Wawasan nusantara adalah pedoman bagi proses pembangunan
nasional menuju tujuan nasional. Sedangkan ketahanan nasional merupakan kondisi
yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat
berjalan dengan sukses. Oleh karena itu, diperlukan suatu konsepsi ketahanan nasional
yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.
Kehidupan manusia di dunia mempunyai kedudukan sebagai hamba
Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai wakil Tuhan di bumi yang menerima amanat-NYA
untuk mengelola kekayaan alam. Sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia
berkewajiban memelihara dan memanfaatkan segenap karunia kekayaan alam dengan
sebaik–baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia dalam menjalankan
tugas dan kegiatan hidupnya bergerak dalam dua bidang yaitu universal filosofis
dan sosial politis. Bidang universal filosofis bersifat transeden dan
idealistik misalnya dalam bentuk aspirasi bangsa, pedoman hidup dan pandangan
hidup bangsa. Aspirasi bangsa ini menjadi dasar wawasan nasional bangsa
Indonesia dalam kaitannya dengan wilayah Nusantara.
Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang
ber-bhineka, negara Indonesia memiliki unsur–unsur kekuatan sekaligus
kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis
dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara kelemahannya terletak pada
wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu
bangsa, satu negara dan satu tanah air.
Wawasan Nusantara juga merupakan sebuah alat yang menyatukan
semua kepulauan yang ada di Indonesia. Sebagai kita ketahui bahwa bangsa
Indonenesia terdiri dari beberapa pulau, dan untuk menyatukannya bukanlah suatu
tindakan yang mudah. Setelah Deklarasi Djuanda itu terjadi yang sudah
melahirkan konsep Wawasan Nusantara, laut Nusantara bukan lagi sebgai pemisah
akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah
kedaulatan yang mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah wilayah
perairan mempunyai banyak celah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh negara
lain yang pada akhirnya dapat meruntuhkan bahkan dapat menyebabkan disintegrasi
bangsa Indonesia. Indonesia yang memiliki banyak pulau memerlukan pengawasan
yang cukup ketat. Dimana pengawasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pihak
TNI/Polri saja tetapi semua lapisan masyarakat Indonesia. Bila hanya
mengandalkan TNI/Polri saja yang persenjataannya kurang lengkap mungkin bangsa
Indonesia sudah tercabik–cabik oleh bangsa lain. Dengan adannya wawasan
nusantara kita dapat mempererat rasa persatuan di antara penduduk Indonesia
yang saling ber-bhineka tunggal ika.
Contohnya : Krisis Multidimensional Indonesia
Krisis nilai tukar yang dialami oleh bangsa Indonesia pada periode Juni 1998, telah
membawa akibat yang sungguh
diluar perkiraan siapapun, bahkan tak pula prediksi para ahli. Krisis
tersebut, pada kisah lanjutannya berkembang dan meluas mencapai krisis
multidimensional; ekonomi, politik, sosial, budaya dan kemudian : identitas
bangsa.
Kemudian krisis ekonomi tersebut ditandai kesulitan
memperoleh bahan pokok dan kesempatan kerja (sebagai akibat banyaknya
perusahaan yang harus gulung tikar dikarenakan krisis hutang akibat depresiasi
rupiah yang amat tajam dan mendadak), yang kemudian menjadi pemicu timbulnya
gerakan mahasiswa yang muncul bagaikan ribuan semut.. Gerakan mahasiswa itu,
kemudian menciptakan kesadaran kolektif komponen bangsa yang lain, untuk
menyadari bahwa upaya mengatasi krisis ekonomi, haruslah diawali dengan
reformasi di dalam bidang politik.
Reformasi politik, yang semula diarahkan pada pembersihan
pemerintahan dari
korupsi, kolusi dan nepotisme yang kemudian diakronimkan
menjadi “KKN”,
ternyata tidak mendapat sambutan yang positif dari
pemerintahan Presiden Soeharto
yang ketika itu berkuasa. Akibatnya, kekecewaan timbul sebab
ketidak-responsif-an
pemerintah, malah membawa tuntutan yang sifatnya lebih
mendesak; yakni perlunya pergantian
pimpinan pemerintahan dari Presiden Soeharto. Gerakan mahasiswa, yang
menggulirkan tuntutan pergantian pimpinan nasional itu, akhirnya mampu untuk
memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri, pada tanggal 21 Mei 1998. Ketika itu,
ratusan ribu mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR untuk menyatakan tuntutannya.
Ternyata, pergantian pimpinan nasional tersebut melahirkan
suasana politik yang hiruk pikuk. Tiba-tiba, semua orang ingin bicara dan
didengar suaranya. Termasuk dari mereka yang selama ini dikenal sebagai
pendukung setia rejim masa lalu. Akibatnya banyak “bunglon politik” yang ikut
bermain dalam kancah politik Indonesia. Bermacam isu pula menjadi sasaran untuk
dihembuskan pada masyarakat. Diantara sekian banyak isu itu adalah tuntutan
desentralisasi kekuasaan dan pembagian keuangan yang lebih adil antara
pemerintah pusat dan daerah. Dengan berbagai cara tuntutan itu dimunculkan.
Dalam kasus terakhir di Aceh, bahkan sampai menggelar “SU MPR” (Sidang Umum
Masyarakat Pejuang
Referendum) Aceh, sebagai media pengungkapan tuntutan
masyarakat Aceh. Khusus untuk hal itu, beragam ide yang ditawarkan sebagai
solusi pun muncul, dari sekadar menuntut pembagian keuangan yang lebih adil,
tuntutan otonomi yang lebih luas, tuntutan federalisasi, sampai ke tuntutan
kemerdekaan.
Sumber :
http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/29/wawasan-nusantara-indonesia-dan-contoh-kasusnya-546883.html