Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu
proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai
dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip dalam
pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan
ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap
warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan
kenegaraan. Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dapat kita pahami bahwa pemilu
merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan
kekuasaan dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan
demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik
politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan
(representative government). Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara
individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih
pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Menurut Robert Dahl, bahwa
pemilihan umum merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan
demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter
dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi
sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu system politik dimana para
pembuat keputusan kolektif tertinggi didalam system itu dipilih melalui
pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu memfasilitasi sirkulasi
elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari
kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih
tinggi. Sikulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika
pemilu diadakan dengan adil dan demokratis. Di dalam studi politik, pemilihan
umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum
merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang memungkinkan terbentuknya
sebuah pemerintahan perwakilan.
Didalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah
satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis
tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang
dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan
oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat adalah dengan memilih
wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan
pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil
rakyat.
Pemilu di Indonesia
Perubahan politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang
ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah
satu diantaranya adalah kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional.
Pemilu yang betul-betul LUBER berlangsung pada tahun 1999 dan diikuti oleh 48
parpol. Demokratisasi ini membawa konsekuensi pola relasi antara Presiden dan
DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi
tukang stempel, masa kini mereka bertindak mengawasi presiden. Disini dicoba
dilansir suatu model atau format politik yang tidak lagi executive heavy ( atau
bahkan dominan ) seperti pada masa Orde Baru, tetapi juga tidak terlalu
legislative heavy seperti pada masa orde lama atau masa Demokrasi Parlementer
yang sudah menjadi stigma negatif.
Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 yang kemudian
digantikan oleh Wakilnya BJ Habiebie memulai babak baru dalam proses
demokratisasi di Indonesia. Tidak adanya legitimasi dari para anggota
legislative produk pemilu 1997 pada mas Orde Baru mengakibatkan banyaknya
tuntutan untuk segera melaksanakan pemilu pada saat itu. BJ Habiebie sebagai
pengganti Soeharto secara konstitusional kemudian memiliki tugas utama yakni
menyelenggarakan pemilu. langkah awal Habiebie pada saat itu adalah membentuk
Tim Tujuh yang bertugas untuk mempersiapkan pemilu secara segera. Selain itu
juga, Golkar yang merupakan produk kekuasaan Orde Baru kemudian memepersiapkan
diri menjadi partai politik baru, serta perpecahan PPP menjadi banyak partai
pada saat itu merupakan langkah awal dari proses demokratisasi di Indonesia.
Selama pemerintahan Orde Baru bangsa Indonesia telah
menjalakan Pemilihan Umum, diawali dari tahun 1966 hingga tahun 1997 telah
diadakan 6 (enam) kali pemilihan umum secara berkala, yakni berturut-turut dari
tahun 1971, tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992 dan tahun 1997,
begitu pula pada era reformasi telah diselenggarakan pemilihan umum yang
diikuti oleh multipartai tanggal 7 Juni 1999 dan pemilu berikutnya pada tanggal
5 April 2004. Terkait dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun
1999 rakyat hanya memilih mereka di lembaga parlemen, setelah itu barulah
anggota MPR yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Bergulirnya gerakan
reformasi telah melahirkan beberapa perubahan, termasuk dalam soal
penyelenggara pemilu tahun 1999. Sistem multi partai pemilu 1999 ternyata
benar-benar membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebelumnya terbelenggu aspirasi
politiknya, karena dalam perjalanannya partai politik yang sudah ada tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat, partai-partai yang sudah ada hanya mempertahankan
status quo saja. Munculnya banyak partai politik dengan segmen dan ideologi
yang beragam membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebenarnya tidak buta politik
meskipun sistem pemilunya masih proporsional tanpa menyertakan nama calegnya
dalam kartu suara, tetapi pemilu pada masa reformasi menjadi ajang kompetisi
yang cukup sehat bagi para kontestan pemilu. Dari segi kelembagaan pelaksanaan
pemilu 1999 mengawali sebuah pemilu yang mendekati demokratis, dengan adanya
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang di dalamnya mempresentasikan golongan
pemerintahan dan partai politik. Selain itu, terdapat juga lembaga pengawas
pemilu dan lembaga pemantau pemilu non partisan yang bertujuan untuk mengawasi
pelaksanaan pemilu.
Dari pelaksanaan pemilu tahun 1999 ini dapat dikatakan
merupakan langkah awal meunuju proses demokratisasi di Indonesia, karena
mengingat sebelumnya yakni pada masa orde baru partai politik yang menjadi
kontestan pemilu hanya 3 partai saja, akan tetapi pada tahun 1999 begitu banyak
partai politik yang ikut serta. System pemilu dan pelembagaan pemilu juga
berlangsung transparan dan dapat mencerminkan langkah awal menuju Negara yang
demokratis. Satu hal juga bahwa dalam pemilu 1999 terdapat lembaga pengawasan
pemilu yang walaupun dengan kekurangannya, hal ini merupakan cerminan dari
keinginan masyarakat akan terwujudnya pemilu yang jujur, adil, akuntabel serta
memunculkan pemimpin sesaui dengan harapan masyarakat.
Pemilu selanjutnya dilaksanakan adalah pada tahun 2004.
Pemilu tahun 2004 ini mempunyai makna yang sangat strategis bagi masa depan
bangsa Indonesia karena merupakan momentum ujian bagi kelanjutan agenda
reformasi dan demokratisasi. Apabila pemilu sistem multipartai pada 1999
menandai berlangsungnya transisi demokrasi, maka pemilu tahun 2004 diharapkan
menjadi momentum pulihnya kedaulatan rakyat, tegaknya pemerintahan yang bersih
serta bebas korupsi, dan berakhirnya krisis bersegi-banyak yang dialami bangsa
Indonesia.
Berbeda dengan pemilu pada tahun 1999, pemilu pada tahun
2004 dari segi kelembagaan pemilu ada perubahan, komposisi Komisi Pemilihan
Umum tidak lagi seperti pemilu 1999. Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi menyertakan wakil-wakil dari partai
politik dan pemerintah. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum memiliki kewenangan
yang sangat besar baik kewenangan menyiapkan dan melaksanakan pemilu dari segi
prosedur juga harus menyediakan logistik pemilu, kewenangan yang besar itu
sebenarnya dalam praktiknya dapat berakibat pada terganggunya kinerja Komisi
Pemilihan Umum, selain juga tugas menyiapkan daftar pemilih yang tidak di
dapatkan dari Departemen Dalam Negeri. Sistem kepartaian pada pemilu tahun 2004
memang menawarkan banyak pilihan pada rakyat dan rakyat cukup kritis dalam
menjatuhkan pilihannya, meskipun pemilu tahun 2004 diwarnai oleh berbagai
kerumitan, tetapi secara umum sistem pemilu tahun 2004 lebih baik dibandingkan
pemilu sebelumnya. Pemilih dapat menentukan sendiri pilihannya baik pilihan
partainya maupun pilihan wakil-wakilnya, sistem pemilihan dengan memilih
partai, calon legislatif, calon Presiden dan Wakil Presidennya dapat
menciptakan kontrol yang kuat dari rakyat terhadap wakilnya di lembaga
legislatif maupun eksekutif, sehingga nantinya wakil yang dipilih secara
langsung oleh rakyat akan mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan
negara
Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan maupun dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 merupakan masalah yang benar-benar baru bagi bangsa
Indonesia. Pemilu tahun 2004 telah membawa Indonesia memasuki babak baru dalam
perpolitikan nasional, bahwa pemilihan langsung pada pemilu kali ini merupakan
perkembangan politik yang sangat besar. Dengan adanya pemilihan langsung oleh
rakyat pasca pemilu tahun 2004, maka Presiden secara politik tidak akan
bertanggungjawab lagi kepada MPR melainkan akan bertanggungjawab langsung
kepada rakyat yang memilih Presiden.
Dengan suksesnya pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004 dan
terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan hasil dari pemilu yang
dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat, merupakan wujud dari berhasilnya
proses demokratisasi di Indonesia. Pelaksanaan pemilu tahun 2004 yang sangat
sulit dan rumit, yang bahkan mungkin saja tersulit yang pernah ada di dunia
dapat dilaksanakan di Indonesia dengan tanpa ada konflik serta perpecahan,
mengingat Indonesia pada saat itu masih berada dalam transisis demokrasi.
Pemilu 2004 lah menurut saya merupakan tonggak demokratisasi di Indonesia yang
kemudian tinggal diteruskan melalui pemilu-pemilu selanjutnya dengan
penyempurnaan disana-sini yang dianggap masih kurang. Aspek actor-aktor politik
yang ada pada saat itu serta aspek kelembagaan pada pemilu 2004 yang oleh
banyak pihak akan gagal menyelenggarakan pemilu pada saat itu terbantah dengan
suksesnya pemilu 2004 dilaksanakan. Maka dapat dikatakan bahwa bangsa ini dalam
konteks pemilu telah sukses berdemokrasi melalui pelaksanaan pemilu tahun 2004.
Pemilihan umum tahun 2009 merupakan pemilihan umum kedua
yang tetap menerapkan pemilihan langsung terhadap presiden dan wakil presiden.
Secara kualitatif pilpres 2009 memang masih banyak kelemahan, kekurangan, dan
ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai factor. Pertama, kelemahan
berada pada Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yang mengatur Pilpres. UU itu
dinilai terlalu cepat mengakomodasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai
salah satu persyaratan penyusunan daftar pemilih. Sementara administrasi
kependudukan masih belum tertib. UU Pilpres ini juga dinilai tidak memberikan
kekuatan kepada Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya, sehingga pengawasan
tidak berjalan efektif. Selain itu, UU Pilpres juga tidak mengakomodasi
kemungkinan penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan paspor bagi warga negara yang
memenuhi persyaratan hak pilih, yang tujuannya menurut KPU adalah untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekacauan dalam DPT, padahal sebenarnya
DPT yang dipakai masih merupakan lanjuta data dari Pemilu 2004. Kelemahan
kedua, KPU sebagai penyelenggara pemilu presiden terlalu mudah dipengaruhi oleh
tekanan publik, termasuk oleh peserta pemilu. Sehingga, terkesan kurang
kompatibel dan kurang professional serta kurang menjaga citra independensi dan
netralitasnya. Kelemahan ketiga, datang dari kesadaran hukum warga negara untuk
menggunakan hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar dan tidaknya dalam DPT
dan DPS, sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih dan bahkan
terdaftar dalam DPT namun tidak menggunakan hak pilihnya masih cukup banyak.
Kemudian kelemahan terakhir, budaya ‘siap menang dan siap kalah’ dalam pemilu
secara elegan belum dihayati oleh peserta pemilu beserta para pendukungnya.
Pemilihan umum tahun 2009 sebagai pemilu ke tiga setelah
reformasi memang menjadi harapan terbesar masyarakat Indonesia untuk menyeleksi
pemimpin yang memang benar-benar berkualitas dengan melibatkan seluruh
kepentingan masyarakat.. Sehingga wajar jika semua pihak menaruh harapan bahwa
pemilu 2009 akan jauh lebih berkualitas dan lebih baik daripada pemilu-pemilu
sebelumnya. Namun banyak pihak memandang bahwa dibanding penyelenggaraan pemilu
tahun 1999 dan tahun 2004, pemilu kali ini justru menurun kualitasnya baik
dilihat dari banyaknya kasus maupun angka partisipasinya. Jumlah kasus dalam
pemilu legislatif 2009 meningkat 128% dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya
tercatat 273 kasus. Tercatat warga negara yang memiliki hak pilih tetapi tidak
menggunakan haknya mencapai 49. 677. 076 orang atau 29,01% dari jumlah Daftar
Pemilih Tetap ( DPT). Jumlah tersebut di luar warga Negara yang terpaksa tidak
dapat menggunakan hak pilihnya karena kekacauan administratif DPT. Padahal
salah satu tujuan pendidikan politik dalam konteks pemilu yang lebih bersifat
nyata dan rasional adalah meningkatnya partisipasi rakyat dalam pemilihan
(electoral participation ).
Kesimpulan
Pemilu sebagai sebuah lembaga dan praktik politik didalam
Negara demokratis memang menjadi sebuah keharusan. Indonesia sebagai sebuah
bangsa yang telah melaksanakan pemilu yang didorong demokratis sebanyak 3 kali
setelah bergulirnya reformasi ternyata dalam praktiknya mengalami kemunduran
yang signifikan pada pemilu ketiga yang dilaksanakan pada tahun 2009.
Kemunduran ini dapat dilihat dari pelembagaan, kebijakan, serta manajemen
pemilu yang terlihat kirang professional. Hal ini tentu sangat disayangkan
mengingat keberhasilan pemilu 2004 seharusnya dapat menjadi modal awal bagi
suksesnya pelakasanaan pemilu 2009. Peran elit politik bangsa ini tentu sangat
dibutuhkan dalam konteks yang positif untuk menjaga lancarnya proses
demokratisasi di Indonesia melalui pemilu, bukan malah kemudian menjadikan
pemilu serta pelembagaan pemilu itu sendiri tempat bertarung para elit politik
yang dapat mengakibatkan kemunduran bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Pada tingkat aktor politik, kepentingan elite politik dan
kepentingan partai yang bersifat jangka pendek masih mendominasi arah transisi
demokrasi di Indonesia. Semua ini tentu saja berdampak pada tertundanya kembali
konsolidasi demokrasi. Seperti dikemukakan oleh Larry Diamond (1999),
konsolidasi demokrasi tidak cukup hanya dengan terselenggaranya pemilu secara
prosedural, melainkan juga melembaganya komitmen demokrasi pada partai-partai
dan parlemen yang dihasilkannya. Dengan begitu transisi demokrasi masih akan
berlangsung dalam tarik-menarik kepentingan pribadi, partai dan kelompok,
sehingga cenderung mengarah pada pelestarian status quo politik ketimbang
menuju suatu demokrasi yang lebih baik serta pemerintahan yang bersih dan lebih
bertanggung jawab.
Sumber :
http://politik.kompasiana.com/2012/06/29/pemilu-dan-proses-demokratisasi-di-indonesia-473456.html
0 komentar:
Posting Komentar